Dunia menjadi milik Lionel Andres Messi,
tetapi ia memberi pelajaran yang tak setiap bintang bisa melakoninya: tetap
santun menjejak bumi.
Karakternya yang seperti terjaga
dari segala jenis bla-bla-bla, kehidupan pribadinya yang normal,
kerendahhatiannya di tengah langit prestasi dan rekor demi rekor, membuat ia
mengetengahkan ”perbedaan” dibandingkan dengan banyak bintang sebelumnya,
juga yang seangkatan dan menjadi pesaingnya.
Tentu sah-sah saja megabintang seperti Cristiano Ronaldo menikmati kemasyhuran
dengan gaya hidup eksklusif
dan sikap sebagai primadona. Sah-sah pula pendekatan tentang karier, hidup, dan kehidupan yang melekat
sebagai kepribadian Messi. Perkara ada yang suka atau tidak suka, bukankah itu bagian alamiah dari keterbelahan
penyikapan?
Ya, memang akan selalu ada yang mempertimbangkan idolatrika dari sisi bagaimana
kualitas sikap hidup seorang bintang. Namun tidak sedikit pula yang tak peduli: yang terpenting bagaimana
kontribusi dan pembuktian sang
bintang dalam dunianya. Menurut penganut pandangan ini, kehidupan nyata dan kehidupan sepak bola adalah
satu dan lain hal.
Arogansi terkadang melekat sebagai bagian dari klaim keberbedaan dari yang
lain. Semua mengalir membentuk karakter, jati diri; tetapi dari sisi semacam
itu pulalah yang lalu muncul pembeda: ooo, ada bintang yang rendah hati,
tetap membumi, jadi role model anak-anak remaja, dan itu sering diidentikkan pada Messi, atau juga pada
masanya −Roberto Baggio, Kaka,
dan Zinedine Zidane−.
Simaklah kekaguman pelatih Barcelona, Tito
Villanova, setelah Messi memecahkan
rekor 85 gol Gerd Mueller dalam
satu tahun di semua ajang. ”Kami berharap dia masih punya banyak lagi
yang akan diberikan karena dia masih sangat muda. Saya pikir kita tidak
akan melihat pemain lain yang seperti dia,” katanya.
Rekor milik legenda Jerman itu sudah 40
tahun bertahan. Dalam prediksi Villanova, untuk menyamai atau bahkan memecahkan
rekor yang disebutnya ”brutal”
itu, hampir mustahil ada pemain
yang mampu.
Ronaldinho, mantan senior Messi di El Barca, juga angkat bicara, ”Dia yang terbaik
di dunia. Dalam beberapa tahun
terakhir dia sudah memainkan sepak bola di level yang tak pernah kita lihat
sebelumnya...”
Dan, Messi terus berjalan dengan skill seakan-akan dari ”planet yang berbeda”, sekaligus membukukan rekor demi
rekor. Dari pencapaian terbaru itu, rasanya kita tidak perlu lagi disibukkan mencari
jawab pembandingan siapa
yang terbesar: Pele, Maradona atau Messi? Semua punya konteks zaman, kondisi, dan tantangan masing-masing.
Dan, sekarang adalah era
Messi.
Capaian-capaian Messi itu pula yang rasanya menyulitkan para kandidat peraih
penghargaan pesepak bola terbaik.
FIFA Ballon d’Or memang belum
diserahkan, lalu di mana seharusnya posisi Ronaldo, Andres Iniesta, atau
siapa pun nomine yang layak disandingkan dengan sang jawara?
Karena itu, walaupun rekor tersebut ”dipertanyakan”
oleh kalangan sepak bola
Brasil dan Zambia, pengakuan eksepsionalitas pemain yang sering disebut sebagai extraterrestrial itu tetap
tak terbantahkan. Zico, bintang Brasil era 1980-an, dilaporkan membendaharakan gol
lebih banyak pada 1979,
sedangkan pemain Zambia Godfrey
Chitalu mencetak 107 gol pada
1972. Tetapi biarlah itu menjadi urusan legalitas FIFA.
* * *
”KENAKALAN” atau kenyentrikan, pada
satu segi biasanya mewujud sebagai representasi identitas atau ”gawan
bayi” seorang jenius. Catatlah personalitas Diego Maradona yang meletup-letup,
temperamen arogan Johan
Cruyff, keflamboyanan Franz Beckenbauer, kebengalan sekaligus kemisteriusan Eric Cantona, ”kenakalan” Ronaldo
Luiz Nazario, atau di masa
lalu George Best mendapat julukan
”playboy lapangan hijau”, dan Pele yang sesuka hati menilai orang lain.
Di tengah kecenderungan identifikasi bintang
yang semacam itu, Messi membuktikan
”seorang bintang pun bisa
menjadi manusia normal”. Ia hidup ”biasa”, segi-segi privat di luar kehebatan
sepak bolanya nyaris tak tersentuh
oleh ingar-bingar publisitas media.
Bukankah misalnya, media tak terlalu memerhatikan
potongan rambutnya, seperti
sensasi yang selalu muncul dari tampilan metroseksual Cristiano Ronaldo.
Sedikit mengubah gaya rambut pun menjadi bahan kicauan. Gestur Messi juga
nyaris ”sama” dari satu kegembiraan ke kegembiraan lain dalam selebrasi gol,
dari ekspresi kekecewaan ke
kekecewaan ketika timnya menerima kekalahan.
Hebatnya, dengan ketinggian skill dan
peluang untuk membukukan rekor demi rekor, Messi bukan pemain yang egois.
Ia tetap pemberi assist yang membuat nyaman rekan-rekan setimnya. Ia
bekerja sama sebagai unit kental dengan Cesc Fabregas, Pedro Rodriguez,
David Villa, Xavi Hernandez, dan Iniesta. Lalu sebagai kapten tim nasional Argentina, ia dihormati karena
menjadi ”bintang yang melayani”, pergerakan dan umpan-umpan matangnya
membuka peluang gol untuk
Gonzalo Higuain, Angel Di Maria,
Ezequiel Lavezzi, dan Sergio Aguero.
Seluruh teknik bola, gaya, dan kualitas gol
Maradona sudah disamai. Rekor- rekor besar mencatatkan namanya lebih sensasional dari mahabintang mana
pun.
Jumlah pengakuan formal pemain terbaik dunia telah dikantungi tanpa tertandingi
oleh para pendahulunya. Predikat
The Next Maradona perlahan-lahan terkikis karena ia adalah Messi,
Lionel Messi dengan segala keunggulannya.
Ia hanya belum meraih kebesaran yang melambungkan Pele dan Maradona: Piala
Dunia! Namun pemain manakah
—termasuk Pele dan Maradona— yang sanggup membukukan 86 gol dalam setahun untuk menjadi rekor
yang oleh Tito Villanova diprediksi bakal abadi?
Seorang Zlatan Ibrahimovic boleh
saja merendahkan capaian Messi, namun masyarakat dunia tak mungkin ingkar:
masih banyak yang bisa ditorehkan oleh si hebat berpredikat ”kutu” itu.
(AMIR MACHMUD NS)
0 comments:
Post a Comment